Tubuh manusia tak pernah berbohong. Tapi, begitu suatu kebohongan terucap dari mulut manusia, efeknya bisa sangat merugikan untuk kesehatan tubuh.
Menurut Dr Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, memang ada konsekuensi dari perilaku berbohong. Spesialis penyakit dalam dari bagian gastroenterologi dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ini mengatakan, saat seseorang berbohong, tanpa sadar psikosomatis terpicu. Psikosomatis adalah gangguan psikis yang tampil dalam bentuk gejala-gejala fisik. Awalnya bukan gejala fisik. Namun, dengan adanya pikiran negatif atau masalah emosi, bisa menjalar ke dalam fisik.
Jika tak biasa berbohong, perasaan bersalah atau perasaan berdosa yang muncul begitu kebohongan terlontar bisa mengakibatkan depresi. Orang yang tak biasa berbohong bisa jadi terpikir terus dengan kebohongannya dan membuat emosinya bermasalah, seperti stres, depresi, kecewa, cemas, serta merasa berdosa.
"Ini yang membuat seseorang akhirnya terserang psikosomatis," kata Ari. Bentuk gejala psikosomatis beragam. Misalnya, naiknya tekanan darah, naiknya kadar asam lambung, sesak napas, insomnia, alergi kulit, hingga nafsu makan yang hilang.
Saat berbohong, tubuh seseorang mengeluarkan hormon yang, "Sama dengan yang dipicu oleh respons saat menghadapi kondisi di mana Anda cuma punya dua pilihan: 'Berkelahi atau Kabur'," kata Saundra Dalton-Smith M.D., penulis buku Set Free to Live Free: Breaking Through the 7 Lies Women Tell Themselves.
"Peningkatan hormon ini menyebabkan detak jantung berpacu cepat dan napas juga lebih cepat, pencernaan melambat, dan otot serta saraf jadi hipersensitif," kata Smith. Efek ini mungkin kelihatannya tidak terlalu serius. Namun, seiring dengan waktu, kondisi efek ini bisa memicu timbulnya berbagai penyakit. Mulai penyakit jantung koroner, stroke, hingga gagal jantung kongestif atau masalah jantung akibat adanya penimbunan di pembuluh darah.
Menurut hasil penelitian pada November 2010 dalam jurnal berjudul Consciousness and Cognition yang dipublikasikan Ghent University, Department of Psychology di Belgia, "Kejujuran yang terus-menerus membuat kebohongan sulit dilakukan. Namun terlalu sering melakukan kebohongan akan membuat berbohong menjadi semakin mudah."
Namun hal ini jarang terjadi pada mereka yang sudah terbiasa berbohong. Karena berbohong sudah menjadi kepribadiannya, mereka tak berpengaruh pada kondisi psikisnya. Akhirnya, fisiknya juga tak terpengaruh.
Mereka yang biasa berbohong sehari-hari sebenarnya sedang membawa beban terus selama bertahun-tahun. Bersamaan dengan komplikasi, mulai tekanan darah tinggi, pembohong kronis alias terus-menerus juga berisiko mengalami berbagai penyakit yang berhubungan dengan stres kronis, seperti kanker, diabetes, dan penyakit jantung.
Sistem saraf kita berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Jadi sangat masuk akal bahwa otak dan emosi kita bisa mengirimkan pesan yang bisa mempengaruhi kesehatan kita. Sederhananya, tubuh akan merespons apa yang kita pikirkan. Ketika kita sedang bahagia, tubuh akan menghasilkan endorfin, hormon yang membuat kita merasa bahagia. Zat kimia ini juga membuat daya tahan tubuh semakin kuat.
Sementara itu, ketika kita mengalami ketakutan, kecemasan, dan berbagai stres lain pada umumnya, pada saat demikian tubuh menghasilkan beberapa jenis hormon berbeda, seperti kortisol dan norepinefrin. Kortisol meningkatkan kadar gula darah dan menekan sistem kekebalan tubuh. Sedangkan norepinefrin memicu timbulnya respons untuk "melawan atau kabur" yang membuat detak jantung semakin cepat dan tekanan darah meningkat tajam.
"Jadi, daripada membiarkan diri terjebak dalam lingkaran setan kebohongan, dengan pusaran kebohongan yang semakin besar, lebih baik berusaha konstan menjadi orang yang bisa dipercaya," kata Smith. Hal yang sama disampaikan oleh Ari. Cara menghindari psikosomatis dari aktivitas bohong adalah dengan bersikap jujur. "Hiduplah yang lurus dan tak berbohong," kata Ari.
BERBAGAI SUMBER | NUR ROCHMI | UTAMI WIDOWATI tempointeraktif
0 comments:
Post a Comment
Please,Leave your best comment,thank you