Di zaman orde baru pernah ada rencana membuat film  “Nyoman jadi presiden”, ternyata tidak lolos sensor. Ketika itu, jangankan manusia beneran,  judul film pun tidak boleh ada kata menjadi presiden. Sekarang berubah terbalik. Siapa saja boleh  jadi presiden.

Ini membawa implikasi ke mana-mana, termasuk membuat anak kecil di Bali bernama Nyoman  berfantasi menjadi presiden. Demikian kuat fantasinya, sampai-sampai semua kegiatan  dilakukan sambil membayangkan dirinya jadi presiden.

Hubungan antara fantasi dan mimpi  memang belum seluruhnya terang, namun Nyoman di suatu malam bermimpi menjadi presiden. Berpidato dan dilantik jadi presiden. Sebagaimana tradisi Timur umumnya, Nyoman juga diajari tetua untuk berdoa di saat-saat penting. Untuk itulah, dalam mimpi menjadi presiden, Nyoman berdoa: “Kapan saja berjumpa orang, akan kupandang diriku yang paling hina. Dan jauh   di   kedalaman   batin,   akan  kutempatkan  orang lain di tempat yang paling mulya”. Setelah melantumkan doa ini, Nyoman merenung sejenak, heran tidak mengerti dari mana datangnya inspirasi doa. Rasanya ia muncul spontan, bukan hafalan. Dan seperti doanya belum lengkap, lagi-lagi bibirnya bergerak di luar kesadaran: “Bila ada yang datang dengan sikap bermusuhan, membawa pedang amarah, api dendam, biarlah ia hadir seperti permata yang amat sulit ditemukan. Karena hanya melalui bara api dendam serta pedang amarah musuhlah bisa lahir bayi-bayi kesabaran dan kebijaksanaan”.

Setelah selesai berdoa, tiba-tiba Nyoman teringat dengan praktek guru yoga. Melalui sujud dan bakti kepada guru, maka segala kegelapan keraguan berubah menjadi cahaya terang pengertian dan bimbingan. Maka ia pun melakukan guru yoga dalam mimpi.

Merendah itu indah


Di Barat lengkap dengan sejarah budayanya yang panjang, manusia  diajarkan untuk percaya diri. Kualitas seseorang amat  ditentukan oleh seberapa tinggi percaya dirinya. Perhatikan mereka yang berhasil menjadi presiden di AS sebagai contoh. Jangankan ketika benar, tatkala salah pun masih berbicara dengan penuh percaya diri. Dan ini tentu layak dihormati sebagai salah satu cara bertumbuh.

Di Timur lain lagi. Kendati sudah mulai ditinggalkan, bahkan dicurigai menjadi biang keladi banyak keterbelakangan, tetua mengajarkan: “Merendahlah, dan engkau akan diagungkan”. Perlambang yang kerap dikutip adalah padi di sawah, semakin berisi  padinya  maka ia semakin merunduk. Simbol  lain adalah bambu. Tatkala muda bambu bertumbuh lurus ke atas, namun begitu dewasa ia merunduk rendah hati.

Inilah junjungan tetua di Timur. Seorang siswa  pernah masuk ke daerah pedalaman di Dieng Jawa Tengah. Di tengah penelitian, tiba-tiba ia dipanggil seorang tetua di tempat itu yang berjanggut panjang, mengenakan peci. Sambil berbisik tetua ini berpesan: “0rang bijaksana seyogyanya berada di atas dualitas. Bukan dipermainkan dualitas (bersahabat dengan yang memuji, bermusuhan dengan yang mencaci), namun dengan sabar merangkul semuanya”.

Dan tugas merangkul ini, lebih mudah dilakukan bila  merendah. Bagi sebagian anak muda, merendah itu musibah. Namun bagi tetua yang kaya rasa sekaligus kaya makna, merendah itu indah. Persahabatan, kebahagiaan, ketenangan, keheningan itulah buah kehidupan yang suka merendah.

Disamping itu, dalam batin yang sudah bertumbuh dewasa, ia melihat kalau kita sesungguhnya adalah daun-daun di pohon yang sama, bintang-bintang di langit yang sama. Setiap pelayanan yang diberikan ke pihak lain, akan balik ke diri ini sebagai pelayanan. Inilah melampaui dualitas.

Itu sebabnya semua manusia di jalan ini mengabdikan hidupnya untuk pelayanan. Ada yang melayani orang-orang sekarat seperti Bunda Theresa. Ada yang menyelamatkan korban perang seperti Thich Nhat Hanh. Ada yang menghabiskan waktunya dengan memerangi kemiskinan seperti Mohammad Yunus. Tentu lebih indah lagi, bila tugas-tugas pelayanan ini dilakukan tatkala seseorang masih duduk di kursi kekuasaan. Dalam bahasa tetua, kekuasaan adalah terbukanya gerbang pelayanan, bukanlah kesempatan untuk melakukan pembalasan.

Lahirnya bayi kebijaksanaan


Tidak mudah memang. Terutama karena zaman penuh guncangan. Namun tetua berpesan, kesulitan ada tidak untuk membuat kita tumbang, namun kesempatan untuk menunjukkan kekokohan. Seperti sebuah pepatah tua: “Bad weather makes good timber”. Cuaca buruk  menyisakan kayu-kayu kokoh. Begitulah pohon-pohon kebijaksanaan memperlihatkan dirinya. Sehingga memberi pelajaran, api amarah, pedang dendam lawan memang bisa mematikan. Namun dalam kelenturan air,  api maupun pedang sama-sama tidak berdaya. Api tidak bisa membakar air, pedang tidak berdaya memotong air.

Kelenturan air  kerap digunakan simbul kebijaksanaan. Air berjalan dari  hulu yang jauh, namun  sampai di samudera. Dan satu-satunya kekuatan yang membuat air bisa  melewati semua penghalang, karena sifatnya yang lentur. Dan berbicara kelenturan, lagi-lagi harus kembali ke ladang pelayanan. Karena memang itulah hakekat kepemimpinan.

Kesehatan, pendidikan, kemiskinan, keterbelakangan adalah ruang-ruang publik yang lapar pelayanan. Kesehatan memang bermakna lebih luas dari sekadar berobat gratis, namun juga melibatkan pendidikan. Dulunya, sebagian lebih penyakit disebabkan karena salah makan. Sekarang (sebagaimana dikemukakan banyak peneliti), sebagian besar penyakit bersumber pada salah pikiran.

Pikiran inilah yang lebih layak untuk disehatkan. Menambah daftar larangan untuk menyehatkan pikiran masyarakat hanya akan memperpanjang guncangan-guncangan. Namun memulai langkah-langkah keteladanan yang lurus, jujur, bersih, jernih lebih membantu dalam hal ini. Lee Kuan Yew adalah seorang guru. Tahun pertama diteriaki, tahun kedua dimaki, tahun ketiga dilempari api, namun karena lurus, jujur dan konsisten, semua teriakan kemudian berhenti.

Makanya ada yang menulis The Inner Science of Transformation: aspiration, habituation, commitment, consistency. Niat itu langkah awal. Membiasakan diri agar niat menjadi kenyataan, itu langkah kedua. Membuat komitmen agar tetap berjalan lurus tanpa bisa ditawar, itu hal berikutnya. Namun konsistensi kemudian mengibarkan bendera perubahan.

Ah, maafkanlah mimpi. Meminjam Sigmund Freud dalam The Interpretation of Dream, mimpi bagi kebanyakan orang memang bunga tidur. Namun tidak sedikit para Sufi dan Yogi yang menggunakan mimpi sebagai  medium penting  untuk terhubung ke alam lebih tinggi. Makanya di Timur dikenal praktek dream yoga.


Tentang Gede Prama_Sebagaimana pulau Bali  yang mengukir banyak keindahan,  Gede Prama juga  mengukir banyak karya tentang keindahan kehidupan.  Di desa Tajun Bali Utara, sejak kecil ia terbiasa terbimbing  dengan “bercakap-cakap” bersama alam. Ini kemudian diperkaya oleh berkah bea siswa yang pernah  membawanya  belajar ke Lancaster Inggris serta Fontainebleau Perancis. Berkah pekerjaan pernah membawanya bekerja di perusahaan Jepang serta  memimpin perusahaan dengan ribuan karyawan, tatkala umurnya baru  38 tahun. Ketekunannya sebagai konsultan membuatnya pernah menjadi konsultan manajemen di perusahaan televisi RCTI, perusahaan taksi Blue Bird dll. Panggilan tugasnya sebagai pembicara publik membuatnya pernah berbicara di berbagai forum (National, International) serta diundang World Bank, Unilever Global, IBM, Microsoft, Citibank dll sebagai narasumber.

Ketekunannya berkarya membuatnya sudah menghasilkan puluhan  judul buku (dua dalam bahasa Inggris), ribuan artikel, pesan-pesannya  menyebar melalui banyak radio, televisi, internet, dan media cetak. Menjadi penulis tetap di harian Kompas, majalah SWA serta majalah Info Bank. Karya terakhirnya berjudul: Pencerahan dalam Perjalanan: Menyirami bibit-bibit kesembuhan, keteduhan, kedamaian (Gramedia Pustaka Utama 2010), serta Sadness, Happiness, Blissfulness: Transforming Suffering Into The Ultimate Healing (Gramedia International 2009).

Kendati kehidupan pernah membawanya ke tempat yang jauh, toh Gede Prama harus kembali ke titik di mana ia memulainya: “bercakap-cakap” dengan alam di desa Tajun Bali Utara. Di desa inilah ia  pernah menghabiskan  waktu bertahun-tahun melakukan penggalian ke dalam (mindfulness training).

Kendati pernah belajar spiritualitas langsung dari HH Dalai Lama di Dharamsala India Utara, serta YA Thich Nhat Hanh, hati Gede Prama  masih sama dengan ketika ia memulai perjalanan: “semua mau bahagia, tidak ada yang mau menderita”. Meski masih jauh dari sempurna, ia memberanikan diri untuk berbagi  pesan tentang  tidak menyakiti, banyak menyayangi, melayani semua mahluk, karena itulah yang membuat manusia berbahagia.

Bila ada yang memerlukan, kerap ia masih mengajar di Jakarta dan sejumlah kota lainnya.





_Gede Prama



Related Post:

0 comments:

Post a Comment

Please,Leave your best comment,thank you

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...