KOMPAS.com — Terus terang, inilah kenyataan yang kerap dihadapi, baik oleh pemberi kerja maupun orang yang bekerja. Tak jarang lingkungan atau tempat kerja tidak selalu nyaman sebagai tempat berkreasi atau rekreasi buat kita. Bisa saja kita tidak cocok dengan suasana kerjanya, suasana pertemanan, atasan yang tidak adil, cara berkomunikasi, praktik bisnis, atau bahkan kultur perusahaan.
Menebar keluh-kesah, tanpa mengolah diri sendiri, tak akan menghasilkan sesuatu yang positif.
Suasana tidak nyaman juga bisa karena situasi yang lebih luas. Misalnya saja: kondisi jalan macet, jarak rumah-kantor yang harus ditempuh dalam dua jam, kasus-kasus korupsi yang tidak kunjung terang, ketidakjelasan aturan bermasyarakat, yang semuanya menyebabkan kita merasa tidak betah di lingkungan, bahkan di negara sendiri.

Pertanyaannya, ke mana kita mau lari? Bisakah kita langsung mengambil langkah menghindar dari suasana kerja tidak nyaman seperti itu? Tentu tidak semudah itu karena kita pasti mempertimbangkan penghasilan, tunjangan yang kita terima, dan keluarga yang butuh dihidupi. Tentu tantangannya adalah tetap berpegang pada prinsip, profesionalisme, dan menjaga sikap agar tidak lebih dalam lagi tenggelam dalam rasa tidak happy tadi.

Wake up call
Seorang profesor di Harvard, Timothy Butler, penulis buku Getting Unstuck: How Dead Ends Become New Paths, mengemukakan sesuatu yang kurang populer. Menurutnya, langkah pertama untuk melepaskan diri dari uncomfortable zone adalah dengan menelaah ke dalam diri dulu, bukan serta-merta menyalahkan lingkungan.

Sering terjadi, tidak mampunya kita melihat sisi positif dari lingkungan kerja kita disebabkan daya adaptasi kita yang kurang optimal. Misalnya saja, kita kerap frustrasi karena kurangnya dukungan dari bagian lain ataupun pengadaan alat yang lambat sehingga pekerjaan kita terhambat. Padahal, terkadang kita sendiri yang kurang asertif dan kurang tuntas dalam mengupayakan pendekatan dengan bagian lain untuk memuluskan proses kerja tersebut. Bukankah kalau kondisinya begini, kita pun adalah bagian dari masalahnya sendiri? Pernyataan "tidak happy"-nya kita sesungguhnya adalah alarm bahwa kita sedang ada di garis depan dan harus melakukan suatu perbaikan.

Kalau dipikir-pikir, tidak pernah ada situasi yang sempurna. Semua sistem, seterkini apa pun, pasti membutuhkan perbaikan. Perasaan tidak puas dari karyawan atau anggota kelompok mana pun perlu kita lihat sebagai cikal-bakal suatu perbaikan.

Realitas sebagai landasan untuk maju
Berada di satu posisi yang baik dalam waktu lama pun bisa membuat kita bosan dan menyebabkan kita merasa uncomfortable. Namun, membiarkan perasaan tidak puas bersarang tanpa action tentunya akan merusak pribadi. Kita tahu bahwa menebar keluh-kesah, tanpa mengolah diri sendiri, tak akan menghasilkan sesuatu yang positif, apalagi perbaikan. Di luar semua ketidakpuasan dengan pekerjaan, kita tentu harus bersyukur karena paling tidak masih punya pekerjaan di tengah keadaan ekonomi yang tidak bersahabat.

Kita sering tidak menyadari bahwa dengan kreativitas dan daya inovasi yang kita miliki, sesungguhnya 100 persen otonomi dalam pekerjaan berada di tangan kita. Keyakinan ini yang harus kita tanamkan dulu bila kita ingin membuat pekerjaan kita lebih menarik. Dengan keyakinan ini, kita jadi punya power untuk me-reenergize dan menciptakan image baru dalam pekerjaan kita, kemudian menerjemahkannya ke dalam motif, kekuatan, dan passion yang segar.
Jika mau sedikit berusaha, kita bisa lihat banyak sekali hal yang bisa dilakukan tanpa perlu mengganggu konstelasi pekerjaan yang ada. Kita bisa bersikap proaktif dan melakukan brainstorming kecil-kecilan untuk melakukan perbaikan dengan biaya seminimal mungkin. Kita masih punya pilihan untuk meningkatkan tanggung jawab, misalnya dengan mengajak teman-teman mengambil hal yang terbaik dari yang terburuk.
Otak-atik cara kerja, pembenahan hubungan kerja, dan persepsi kita mengenai pekerjaan pemetaan ulang daftar tugas kita betul-betul bisa membawa nuansa baru dalam pekerjaan kita.

Dengan spirit job crafting, kita bisa merasakan timbulnya energi untuk bukan sekadar berbuat lebih baik dari waktu ke waktu, tetapi juga berusaha menikmati tugas dan pekerjaan sebagai hasil kreasi kita. Dengan perasaan, "Sayalah penentu cara kerja saya", sense of control menguat terhadap apa yang kita kerjakan, sehingga kita bebas menarikan, menyanyikan, dan berlari dalam pekerjaan sendiri.

(Eileen Rachman & Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)



Related Post:

0 comments:

Post a Comment

Please,Leave your best comment,thank you

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...