Fiqhislam.com - Tidak semua orang dapat mengenyam pendidikan formal ke jenjang yang terus meninggi dengan berbagai cabang ilmu dan keahlian. Atau bahkan tidak sedikit pula yang sama sekali tidak mengenyam pendidikan. Mungkin ada yang mau bilang “kan sekolah udah gratis ?”, tapi sepertinya istilah sekolah gratis masih sebatas ilusi yang gosipnya bisa terus diangkat di setiap kampanye pemilihan umum.

Meskipun kita tidak mampu mengenyam level pendidikan formal yang tinggi, itu bukan berarti kita  harus pasrah pada kemampuan kita sebatas ijazah yang sudah kita raih. Yang namanya formal, -mohon maaf- ijazah kadang hanya sebatas formalitas antara pengakuan dan pura-pura mengakui ilmu yang kita miliki, sekali  lagi “kadang”. Dan oleh karena itulah sekaligus saya ingin menyampaikan kalau “formalitas” adalah satu istilah yang kurang nyaman ditelinga saya. Kalu sudah berbicara formalitas lekat sekali dengan kepalsuan dan asal-asalan.

Jadi, meskipun pendidikan kita rendah teruslah berusaha  memperkaya kemampuan diri kita untuk melampaui batas pengakuan sebuah ijazah terhadap level pendidikan formal yang kita lalui, biarkan dunia yang mengakui potensi dan kemampuan kita. Karena instisari pendidikan bukanlah meraih ijazah, melainkan belajar untuk meningkatkan kualitas kemampuan intelektual dan moral diri. Tidak masalah ijazah kita sebatas SMA, SMP, SD atau bahkan kita tidak punya ijazah, yang terpenting kemampuan diri kita bisa melampaui surat legalitas pendidikan tersebut.

Sejarah mencatat, kalau banyak pembesar, pejuang, pahlawan, dan pengemban pemerintahan yang terlahir di negara kita tidak mengenyam pendidikan formal yang tinggi, bahkan SD-pun tidak tamat. Sebut saja Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan Buya Hamka,  H. Mohammad Said (HMS), Adam Malik, Frederich Silaban,  dan banyak tokoh yang lainnya.

Hampir semua orang mengenal atau paling tidak pernah mendengar nama Buya Hamka, tapi banyak juga yang tidak tahu kalau tokoh sekaliber Buya Hamka sebetulnya hanya mengenyam pendidikan formal hingga kelas 2 di Sekolah Dasar Maninjau. Tapi semangat dan kemampuan beliau mampu mengantarkan dirinya ( menurut saya) yang sampai saat ini tidak ada duanya di negeri kita. Bayangkan, Ulama, Ahli Politik, Sastrawan, Wartawan, Editor, Penerbit, semunya melekat pada dirinya. Tidak ada ijazah pendidikan formal yang beliau raih, tapi dunia mengakui kemampuan ilmunya dengan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar pada tahun 1958; Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia pada tahun 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia. Karya-karyanyapun tidak kalah fenomenal, seperti Tafisr Qur’an Al – Azhar, dan ratusan buku-bukunya baik filsafat, agama, novel maupun cerpen.

Kemudian ada pula H. Mohammad Said atau yang sering disebut HMS. HMS merupakan seorang jurnalis, politikus, dan juga sejarawan yang handal. yang dilahirkan di Labuhan Batu – Sumatera Utara (1905). Ketidaksanggupan orang tuanya membiaya kelanjutan pendidikan tidak menyurutkan semangat belajarnya, walaupun harus menempuh cara otodidak.

Selanjutnya ada H. Adam Malik, wakil presiden Republik Indonesia ke 3. Pendidikannya hanya tamatan HIS  (SD zaman Hindia Belanda), tapi beliau mampu menjadi personifikasi utuh dari kedekatan antara diplomasi dan pers. Tidak hanya menjadi wakil presiden ke 3 RI dan juga Mentri Luar Negeri di tahun 1966 – 1967 serta Ketua DPR di tahun 1977 – 1978, beliau juga memiliki prestasi yang mencengankan ketika menjadi Ketua Sidang Majelis Umum PBB ke 26 di New York – Amerika Serikat. Hasil jerih payahnya di bidang media massa dapat kita saksikan sekarang, yaitu Kantor Berita Antara, yang tidak lain didirikan oleh beliau. Kemampuan diplomasinya membuat beliau dijuluki “Si Kancil Pengubah Sejarah”, karena identik dengan punya 1001 jawaban atas segala pertanyaan dan persoalan yang dihadapinya. Jawaban sederhananya paling terkenal adalah kalimat “semua bisa diatur”, sayangnya saat ini kalimat tersebut menjadi ambigu ketika dikaitkan dengan kongkalikong, korupsi, dan konspirasi.

Ada lagi Frederich Silaban. Siapa beliau ?, beliau adalah sang arsitek yang membidani pembangunan Mesjid Istiqlal. Kemampun ilmu rancang bangunnya tidak ia raih melalui pendidikan formal dengan gelar sekelas insinyur, pendidikan terakhirnya setingkat STM. Tapi, dengan kemauan belajar dan mengasah kemampuan diri membuat dia sering memenangkan sayembara perancangan arsitektur. Kemampuannya itu pula yang menjadi salah satu alasan Bung Karno mempercayainya untuk mengarsiteki pembangunan Mesjid Istiqlal, meskipun Frederich Silaban seorang kristiani.

Tokoh-tokoh diatas telah memberikan cerminan bahwa kita tidak boleh menyerah dan puas terhadap sebatas ijazah yang kita raih. Pendidikan rendah bukan berarti kita harus pasrah menjadi pribadi yang berintelektual dan bermoral rendah. Pendidikan tinggi yang kita raihpun tidak menjamin bahwa ilmu dan moral kita berada pada puncak tertinggi.

Alangkah lebih baiknya memang jika kita juga berusaha semaksimal mungkin untuk bisa mengenyam ilmu di “padepokan” yang formal. Akan tetapi ketika itu semua seolah-olah mustahil, maka bukan berarti kita berhenti memperkaya pikiran dan hati. Ayo kawan, kita bersama-sama untuk terus belajar. Kita tumbuhkan banyak pertanyaan tentang bermacam hal didalam pikiran kita sehingga mendorong rasa keingintahuan kita.

Rosidin | rosid.net



Related Post:

0 comments:

Post a Comment

Please,Leave your best comment,thank you

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...